Korona Wabah, Bali pun Sepi

Korona Wabah, Bali pun SepiIst
Penulis di Bali
A A A

Catatan Ringan Akhir Pekan T. Taufiqulhadi

Bali, acehtoday.com -  Setelah menghabiskan dua butir telur setengah matang  dicampur tiga sendok madu hutan Belitong  super asli, dengan heroik saya berujar pada istri saya yang berdiri diambang pintu dapur,"Saya berangkat ke Bali."

Istri yang terbiasa melihat saya ke luar kota hanya mengangguk ringan seraya menatap dengan cara yang rada aneh karena tingkah saya yang tidak lazim: setelah menghabiskan satu gelas CDR ditambah dengan dua butir telur plus madu.

Saya ke Bali  menghadiri dan sekaligus membuka rapat Bakohumas, badan koordinasi Kehumasan pemerintah. Karena ke Bali, saya pikir, saya butuh daya tahan yang prima. Tempat itu  sangat mengkhawatirkan sekarang. Di sana banyak virus korona. Pulau kesohor tersebut, tahun lalu dikunjungi tidak kurang 2 juta turis China,  1,2 juta turis Australia, belum lagi dari Jepang, Amerika dan Eropa. Sekurangnya, 6,2 juta wisatawan mancanegara itu tumplek ke Bali setiap tahunnya. Jadi bayangkan hingar-bingarnya Bali.

Denpasar tidak pernah mati selama 24 jam. Pesawat naik turun tidak kurang 803 pergerakan per hari. Dengan pergerakan manusia yang demikian padat ke Bali, logis orang berpikir, Bali telah jadi pusat mekarnya virus korona di Indonesia. Saya berpikir seperti itu juga.   Kabarnya, virus yang namanya terkesan "mewah" ini sangat menyukai orang bertubuh ringkih. Orang tua dan orang kurang vitamin akan segera disergapnya hingga mati.

Tidak ada yang tahu dari mana asal-muasal virus ini. Banyak yang menyebutkan dari Wuhan, China. Tapi ada yang mengatakan virus itu dari Itali dan kemudian menyeberang ke China.  Jadi kembali China dan Itali saling terkait karena wabah. Seperti terkait keduanya di masa lalu ketika terjadi Wabah Hitam (Black Death) di Eropa.

Wabah Hitam adalah pandemi yang menghantam Eropa pada abad ke-14. Wabah yang nyaris tidak mau minggat dari benua itu, merenggut sekurangnya 50 juta jiwa. Berarti lebih separuh penduduk Eropa meninggal pada saat itu.

Orang saat itu  menduga, Wabah Hitam yang mengamuk ini asalnya dari China dan mendarat di Eropa melalui  pelabuhan salah satu kerajaan yang saling bersaing di wilayah Itali yang belum bersatu saat itu. Mungkin melalui Venesia, kerajaan  kaya dan memiliki hubungan dagang  dengan hampir semua negara lain di muka bumi.  Venesia memiliki pelabuhan  sangat sibuk, yang  disinggahi berbagai kapal dari seluruh dunia, termasuk dari China. Maka jatuh dugaan, wabah hitam itu, yang sebenarnya penyakit pes,   datang dari China.  Wabah itu berlabuh di Itali dengan menunggangi tikus di kapal barang yang melayari jalur sutra.

Akibat dugaan  itu, dulu semua kapal, terutama  dari China, harus berlabuh sejauh seperempat (a quarter) mil dari pantai Itali. Kebijakan berlabuh yang jauh dari daratan itu untuk mencegah wabah itu masuk ke daratan. Mencegah itu sekarang disebut "karantina" (quarantine) yang berasal dari kata "quarter" di atas.

Sebelumnya, istri saya juga menyaksikan saya gencar "mewawancarai" teman-teman, dan menelpon ke sana kemari untuk mendapat kabar tentang Bali. Saya sedikit nervous. Bali, menurut tetangga saya yang sangat aktif di RT dan  rajin bergabung dengan berbagai grup WA, telah menjadi distinasi favorit para turis China.

"Turis Itali dan Iran dilarang tapi turis China dibiarkan masuk ke Bali," serunya penuh daya, dengan coba meniru  gaya ustad  Somad dalam vlog. Pak RT dan sejumlah perangkat RT lain yang semua tidak lulus SMA, mengangguk takjub.

Sampai-sampai, saya perlu menemui Kang Joto, mantan baputi Bojonegoro. Saya cerita tentang tugas dari kantor di satu pihak serta kabar dari WA yang menakutkan di pihak lain. Kang Joto dikenal sebagai bupati yang reputatif menatap saya dan mengatakan.

"Kalau saya akan tetap pergi karena itu adalah tugas." Saya pun mengangguk, tersipu.

Saya tiba di Bandara Internasional Ngurah Rai  dengan  Garuda, jam telah menujukkan pukul 16.00 waktu setempat. Inilah Bali. Namun Bali hari ini bukan lagi seperti yang saya saksikan sebelumnya. Tidak ada turis China yang mengantri menaiki bis wisata; tidak ada  turis Australia yang riang hilir-mudik serasa di kampungnya. Tidak terlihat  pesawat terbang hingga 803 pergerakan perhari. Saya hanya menyaksikan sebuah pesawat Thai Airlines, satunya lagi MAS sedang parkir. Di sebelah sana, terlihat juga  satu pesawat Emirates, bersama  beberapa pesawat Garuda, AirAsia, dan Batik.

Pesawat China dilarang  masuk ke Bali. Pesawat Singapura menghentikan penerbangannya ke pulau ini. Sejumlah penerbangan lain dari negara-negara Asia Timur lainnya juga mengurangi penerbangannya ke pulau penuh pura ini.   Meski kehidupan Denpasar masih hidup 24 jam, tapi cafe dan restoran lengang. Hanya kabarnya, jumlah turis dari India kini sedikit meningkat.

Keadaan tersebut dengan cepat memengaruhi kehidupan masyarakat, yang rata-rata tergantung pada sektor pariwisata. Seorang pejabat setempat mengatakan kepada saya, kini sejumlah pemandu wisata dan para tukang pijit di pantai Kuta telah balik arah. Mereka menjadi nelayan atau pulang kampung.

Saya bersedih melihat situasi bahwa Bali menjadi "distinasi" kekhawatiran, seperti Wuhan. Ibu Kota Hubei di  China juga, masih dianggap sebagai pusat penyebaran virus Korona di negeri sendiri. Saya tidak bisa membayangkan Wuhan. Karena Bali saja sudah demikian tersudut dari sebuah isu yang tidak  terkontrol. Apakah benar virus ini demikian mematikan dan tak terobati?

Di Indonesia virus ini dihubungkan dengan segala hal, seperti "perintah tuhan". Seorang anggota MUI menyebutkan, virus Korona ini datang untuk menghukum para pemakan babi. Ekor dari pernyataan itu, sebuah joke segera beradar.  "Orang Arab Saudi, Iran dan Yahudi akan menuntut MUI ke mahkaham akhirat karena telah menuduh mereka makan babi."

Tapi yang jelas untuk Indonesia, bukan korona tapi DBD lah yang paling mematikan.  DBD yang merebak sejak Januari 2020, kini telah memakan korban 16.000 orang. Sementara sejauh ini, wabah korona menyangkiti sekitar 34 orang. Hanya saja serangan DBD tidak heboh. Mungkin karena DBD hanya ada di Indonesia.

Dua hari di Denpasar, saya menjalani aktivitas wajar sebagaimana di Jakarta, Surabaya atau di Banda Aceh. Tidak ada yang menakutkan. Maka terpikir, saya telah menghakimi Bali secara berlebihan. Pulau itu telah tersudut karena kabar. Padahal, di luar kelengangan di atas, Bali tidak ada yang berubah: tetap memesona dan keramah-tamahan selalu kita temukan di setiap sudut yang ada. 

Om Santi Santi Om.

Komentar

Loading...