Jejak Penolakan Pembangunan IPAL Banda Aceh di Situs Sejarah Gampong Pande

Di kawasan itu juga ditemukan makam kuno ulama dan tokoh kerajaan Aceh Darussalam. Selain itu Gampong Pande dahulu disebut sebagai kawasan militer kerajaan.
Banda Aceh, acehtoday.com - Kehendak Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh melanjutkan kembali pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande yang sempat terhenti 2017 lalu, akibat ditemukan sejumlah batu nisan tokoh-tokoh penting kerajaan Aceh Darussalam mendapat penolakan banyak kalangan.
Sempat empat tahun terhenti, suara penolakan proyek IPAL yang dibangun Kementerian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya mencuat ke publik usai selembar surat yang ditanda tangani Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman.
Surat tertanggal 16 Februari 2021 itu dilayangkan ke menteri PUPR. Isinya meminta pembangunan IPAL di Gampong Pande senilai Rp 107,3 miliar bersumber dari APBN dan APBA itu dilanjutkan karena pengerjaannya diklaim Pemkot Banda Aceh sudah 70 persen. Di dalam surat juga disebut pembangunan IPAL tak melanggar aturan karena lokasi temuan batu nisan dalam kolam penampungan belum menjadi situs cagar budaya.
Reaksi warga muncul, terutama yang bermukim di Gampong Pande. Melalui Forum Masyarakat Penyelamat Situs Sejarah Gampong Pande (Forsigapa) menyurati Kementerian PUPR dengan nomor 001/GP-F/III/2021. Surat ini berisi tentang penolakan dan pemberhentian pembangunan IPAL di lokasi bersejarah tersebut.
Ketua Forsigapa Nahrawi mengatakan, kawasan pembangunan proyek IPAL merupakan kota tua yang terbenam sejarah masa lalu. Hal ini terbukti usai ditemukannya benda-benda bersejarah yang muncul pasca tsunami Aceh 2004 silam.
Di kawasan itu juga ditemukan makam kuno ulama dan tokoh kerajaan Aceh Darussalam. Selain itu Gampong Pande dahulu disebut sebagai kawasan militer kerajaan.
Nahrawi mengingat sekitar bulan November 2017, Gubernur Aceh kala itu, Irwandi Yusuf, mengatakan proyek IPAL ini harus dihentikan dan dipindahkan ke lokasi lain. Ucapan itu disampaikan Irwandi usai melakukan tinjauan ke lokasi pembangunan.
“Proyek tersebut merupakan kecelakaan sejarah,” kata Nahwari meniru ucapan Irwandi saat itu.
Namun usai surat permintaan melanjutkan pembangunan IPAL oleh Wali Kota Banda Aceh ke Kementerian PUPR itu mencuat ke publik, warga Gampong Pande kembali gusar. Warga di sana lantas menggelar musyawarah 13 Maret 2021 lalu.
Hasil duduk rembuk itu, sebut Nahrawi warga tetap sepakat menolak pembangunan IPAL dengan alasan untuk menyelamatkan pusaka sejarah peradaban Islam dan budaya Aceh.
“Karena pada masa lalu Gampong Pande adalah sebuah kerajaan besar, sehingga sudah barang pasti meninggalkan berbagai jejak-jejak sejarah, situs, cagar budaya, batu nisan, dokumen-dokumen, benda sejarah, berbagai pusaka, peradaban dan sebagainya. Sehingga pembangunan proyek ini akan menjadi akhir yang banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya,” ungkap Nahrawi melalui keterangan pers yang diterima Acehtoday, Kamis (18/3/2021).
Sementara itu Lembaga masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) menyikapi keinginan Pemkot Banda Aceh yang ingin melanjutkan kembali pembangunan IPAL dengan mengeluarkan mosi tidak percaya kepada Aminullah Usman.
Ketua MAPESA Mizuar Mahdi mengatakan pernyataan Wali Kota dalam surat yang dikirim ke PUPR, yang salah satu butir isinya menyebut bahwa lokasi pembangunan IPAL hanyalah “pemakaman masyarakat umum” dinilai tidak objektif dan ilmiah.
Mizuardi menyebut fakta yang sesungguhnya adalah makam-makam tersebut belum diketahui apakah itu makam raja, keluarga raja, atau lainnya dari masa Kesultanan Aceh.
“Tidak ditemukan apapun keterangan, epitaph atau inskripsi pada nisan-nisan tersebut, dan ini sebagaimana umumnya batu-batu nisan peninggalan sejarah Aceh yang dipercaya berasal dari abad ke 18 dan berikutnya, sama sekali tidak memberikan kita hak dan alasan untuk memastikan bahwa itu adalah pemakaman masyarakat umum,” katanya.
Dia menuturkan, Pernyataan Aminullah Usman itu terkesan sengaja dikeluarkan untuk mengurangi nilai dan kepentingan kompleks pemakaman tersebut. Selain itu, pernyataan tersebut juga memberikan sinyal bagi keterancaman kompleks-kompleks makam peninggalan sejarah Aceh yang tersebar di berbagai lokasi atau belum teridentifikasi pemiliknya.
Menurutnya lokasi kompleks pemakaman tersebut juga berada dekat dengan situs-situs lainnya, bahkan hanya beberapa ratus meter dari tugu titik nol Kota Banda Aceh yang diasumsikan telah ditetapkan sebagai sebuah situs sejarah versi Pemerintah Kota Banda Aceh.
“Ini pula yang menjadi pandangan Mapesa bahwa lokasi situs tersebut merupakan salah satu yang termasuk dalam satuan geografis yang disebut kawasan cagar budaya, meskipun belum ditetapkan,” ungkapnya.
Pihaknya tidak menampik bahwa secara hukum situs di lokasi IPAL tersebut belum ditetapkan sebagai cagar budaya. Akan tetapi, pernyataan yang dikeluarkan Wali Kota Banda Aceh itu dapat memberikan sinyal bagi keterancaman benda, bangunan, struktur, lokasi atau satuan geografis yang diduga sebagai cagar budaya.
“Terutama karena pengabaian amanah UU Nomor 11 Tahun 2010 pasal 26 ayat 1, yang menyatakan Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya,” pungkasnya.
Penolakan juga datang dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) Darud Donya. Melalui keterangan pers yang dikeluarkan Kamis 11 Maret 2021, lembaga itu menyinggung ingatan Pemkot Banda Aceh saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) DPRK Banda Aceh pada September 2017 lalu.
Ketua LSM Darud Donya Cut Putri mengatakan, dalam rapat tersebut semua peserta telah sepakat untuk menghentikan dan merelokasi IPAL dari Gampong Pande ke tempat lain.
Bahkan usai RDPU itu lembaga wakil rakyat kota Banda Aceh menindaklanjutinya dengan mengirim surat ke Wali Kota Banda Aceh dengan nomor 640/2925 tanggal 9 Oktober 2017 perihal pemberhentian pembangunan IPAL.
Pihaknya menyayangkan isi surat Wali Kota itu yang meminta proyek dilanjutkan kembali. Ditambah dengan isi surat menyebutkan bahwa pembangunan IPAL sudah berjalan 70 persen, seakan-akan keterlanjuran atas proyek ini harus dirampungkan pemerintah.
“Pernyataan ini adalah suatu kekeliruan karena kawasan situs sejarah cagar budayalah yang seharusnya steril dari proyek IPAL, dengan cara memindahkan proyek tersebut ke tempat lain agar situs-situs cagar budaya tak perlu digusur demi pembangunan,” tegasnya.
Komentar